05.52
Unknown
0 comments

Islam Bukan Sekedar Kesalehan Formal

                                                        Oleh: Marzuki ibn Tarmujzi

Awalnya kita semua adalah bodoh. Kemudian kalau kita mau membuka kesadaran diri kita maka kita akan menemukan sebuah kebenaran. Dan, kebenaran yang saya temukan adalah pada agama Islam. Betapa Islam mengajarkan keseimbangan antara sisi vertikal seperti sholat, puasa serta sisi horizontal seperti zakat, shodaqoh, peduli dengan sesama, orang miskin, anak yatim. Maka Al-Qur’an menyebut sebagai “pendusta agama”, bagi orang yang menjalankan sholat namun apatis pada kondisi anak yatim dan membiarkan saja orang-orang miskin kelaparan (QS. Al-Ma’un [107]:1-7).

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang

Semua gerak merupakan perwujudan dari penghambaan kita pada tuhan Semesta alam. Sebab manusia beragama seharusnya memang harus berjalan diatas petunjuk dan dari petunjuk itulah manusia bisa berkomunikasi dengan Tuhan melalui hatinya. Ketika kita membaca “bismillahirrohmanirrohim”, bahwa “arrohman” adalah kasih saying Allah pada seluruh makhluknya dan “Arrohim” adalah kasih saying Allah pada orang-orang mu’min di akhirot nanti. Maka ketika kita sudah faham akan “arrohman”, kasih sayang kita pada sesama makhluk Tuhan, sungguh indahnya, harmonisnya kehidupan ini.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an suroh Al-Baqoroh ayat 177; Bahwa, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.

Disinilah, sesungguhnya kehidupan beragama adalah kehidupan yang saling menguatkan antara sisi yang satu dengan sisi yang lain. Dimana Allah memang menciptakan dualisme antara si kaya dan si miskin (QS. Az-Zuhruf [43]:32),

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

Maka adalah tugas orang-orang kaya untuk menguatkan tatanan ekonomi marhaenisme. Sebab, islam benci pada kapitalisme (QS. Al-Hasyr [59]: 7). Islam sangat menjunjung kaum marhaen (QS. Al-Ma’un [107]:1-7). Islam sangat menghargai pluralisme (QS. Hujrot [49]:13). Islam sangat menjunjung persatuan dan perdamaian (QS. Ali Imron [3]:103). Islam menganjurkan kerakyatan dalam musyawarah (QS. Ali Imron [3]:159). Islam menyuruh pada keadilan sosial bagi seluruh lapisan rakyat (QS. An-Nahl [16]:90). Islam membenci segala bentuk penindasan pada kaum lemah (QS. An-Nisa’ [4]:75). Islam mengajarkan pemeluknya untuk menjadi perwira (QS. Al-Baqoroh [2]:273).

Akhirnya, janganlah kita berhenti berproses dalam meningkatkan ketaqwaan kita pada Allah Swt. Awalnya kita belum melakukan sholat mari kita dirikan sholat dengan tepat waktu. Lalu kita terus berproses sehingga kita bisa menemukan keseimbangan dalam kehidupan ini, keseimbangan antara hubungan dengan Allah pemlik semesta raya ini juga keseimbangan hidup dengan makhluknya.

05.50
Unknown
0 comments

Salam Perdamaian dari Islam


                                                   Oleh : Marzuki ibn Tarmujzi


Manusia telah dilahirkan cerdas sesuai fitrahnya. Sebab manusia bukan dilahirkan dari selembar buku. Manusia tidak dilahirkan dari seorang guru. Namun manusia diciptakan oleh Dzat yang menciptakan seluruh galaksi dan yang menghamparkan bumi yang didalamnya ada jutaan bunga yang berwarna-warni, dan Dia lah yang mengajarkan manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu (lihat QS. 71:15-16, 2:29, 23:18, 96:5).
Namun sayangnya manusia itu egois dan sombong dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Mayoritas manusia menutup hatinya dari ayat-ayat suci Nya (QS.21:24). Bahkan manusia telah melepaskan ikatan tali sesama manusia itu dan lupa bahwa manusia itu pada mulanya adalah berasal dari umat yang satu dan sebab hatinya pula lantaran kedengkian, manusia saling bercerai berai (QS. 2:213). Yuk, kita tundukkan hati kita dengan membuka lembaran-lembaran suci Nya dan meninggalkan kefasikan (QS. 57:16). Dan, mari bersama-sama berpegang teguh pada tali Allah sekuat-kuatnya dengan hati yang fitrah (QS. 3:103).
Bagaimana mungkin kalau kita sesama manusia itu di ikat oleh tali Allah akan melakukan tindakan teroris dan anarkis? Bagaimana mungkin kalau kita sadar bahwa ayat pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad adalah, “Bacalah”(QS.96:1), perintah membaca segala sesuatu, lalu kita bisa merasa paling benar dengan satu buku, padahal ada ribuan buku ditoko buku?
Al-Qur’an sebagai petunjuk agama Islam (QS. 3:138), memang memerintahkan pemeluknya untuk mengajak manusia lainnya di muka bumi untuk berjalan pada agama Allah yakni Islam (QS. 41:33). Sebab, agama pada Allah hanyalah Islam (QS. 3:19). Namun Al-Qur’an menegaskan bahwa ajakan itu harus dengan ilmu pengetahuan dan tutur kata yang baik serta berdiskusilah dengan argumentasi yang lebih baik (QS. 16:125), bahkan Al-Qur’an memberikan kelonggaran kepada orang-orang kafir itu untuk masuk agama islam atas kesadaran mereka. Bukan dengan jalan paksaan (QS. 2:256). Al-Hasil, “untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”(QS. 109:6)

05.49
Unknown
0 comments

Bekerja Keras


Oleh: Marzuki ibn Tarmujzi
Hidup adalah sebuah proses maka jalanilah proses-proses itu dengan sebenar-benarnya (QS. 18:84-85). Berproses menuju perubahan yang lebih baik (QS. 13:11). Lalu, kemanakah arah halatuju proses perubahan itu? Disinilah, awal dari intisari penciptaan manusia. Betapa kita harus membuka kesadaran jiwa kita seluas-luasnya. Mari kita instal jiwa kita dengan memasukkan pemahaman bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Semesta alam, sang pencipta seluruh bintang-bintang yang di dalamnya ada planet-planet juga bulan-bulan beserta isinya dengan orbit-orbitnya yang tersusun rapi (QS. 71:15-16 , 21:31), adalah manusia dan jin diciptakan semata untuk mengabdi pada-Nya tak lebih dari itu (QS. 51:56). Dimana, dalam kehidupan itu sendiri Tuhan Semesta alam menciptakan ujian bagi manusia untuk mengetahui kebaikan amal perbuatannya (QS. 67:2). Dan materi dari ujian itu sendiri adalah sebuah ketetapan yang telah diturunkan kepada Nabi-Nabi Nya (QS. 2:213), kepada kita umat Muhammad adalah Al-Qur’an, yakni wahyu yang sama sebagai mana juga diturunkan kepada Nuh dan Nabi-Nabi yang kemudiannya, juga wahyu kepada Ibrohim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman dan Zabur kepada Daud (QS. 4:163). Sebab Al-Qur’an adalah peringatan yang bukan hanya sekedar diingat namun juga harus dipikirkan bagi umat Muhammad dan umat sebelumnya (QS. 21:24).
Kawan, mungkin selama ini hati kita terlalu dibutakan dengan bekerja, bekerja dan bekerja. Uang, uang sekali lagi uang. Okelah bekerja!! Okelah Uang. Namun Yuk!! Kita mulai menata hati dengan membuka kembali lembaran hidup kita dengan berjalan diatas tuntunan yang tegak “shirotol mustaqim” (Lihat QS. 4:68-69).
Saya sendiripun adalah juga manusia yang tentu juga tiap hari beraktifitas sebagaimana manusia lainnya. Hidup sebagai perantau di negeri orang jauh dari kerabat. Hidup dengan berbagai teman dan permasalahan yang plural. Sayapun juga bekerja, jangan bayangkan kerja saya adalah kerja kantoran duduk di depan computer dengan bertelekan AC. Bukan itu kerja saya sekarang ini. Kerja saya sekarang ini begitu menantang adrenalin dan mental. Dan dituntut selalu untuk memupuk keimanan supaya saya dapat tetap tabah dalam menjalankan kerja saya ini. Pembaca yang saya hormati, saya menulis catatan ini adalah hasil resapan dari apa yang saya telah dan sedang saya kerjakan dalam merenungi kehidupan bersama Al-Qur’an. Hidup dengan berlandaskan Al-Qur’an seprti ditarik oleh nur untuk sadar bahwa ada kehidupan setelah mati (QS. 2:185). Dan tiadalah kehidupan di dunia ini hanya kesenangan yang menipu (QS. 3:185). “seperti hujan yang menyuburkan tanam-tanaman yang mengagumkan para petani kemudian tanaman itu kering dan kamu lihat warnanya menguning kemudian menjadi hancur” (QS. 57:20). Dan kehidupan akhirot adalah lebih baik dan lebih abadi (QS. 87:17).
Saya menanamkan dalam diri saya bahwa bekerja adalah wujud mencari fadhol Allah “kelimpahan dari Allah” yang itu dicari manakala kita selesai menunaikan sholat (QS. 62:10). Maka sholat dan mencari kelimpahan dari Allah adalah laksana dua sisi mata uang yang tak bisa terpisah . kalau kita sudah sadar bahwa bekerja adalah bentuk penghambaan kepada-Nya, maka hidup akan terasa ringan meski ada tekanan –tekanan dalam pekerjaan itu (QS. 2:112). Wakilkan segala permasalahan hidupmu pada Allah! Dan cukupkan Allah sebagai wakil dalam menata permasalahan kita (QS. 4:81).
Mari kira renungkan ayat Al-Qur’an suroh Al-Baqoroh [2]:155-157 dibawah ini;
“Sungguh akan kami berikan ujian kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,”sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada Nya lah kami dikembalikan”. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

05.45
Unknown
0 comments

Al-Qur'an Sebagai Petunjuk

                                             Oleh : Marzuki ibn Tarmujzi

 “Al-Qur’an bukanlah Perkataan Penyair dan sedikit sekali kamu beriman  kepadanya”(QS. 69:41)                             

Hidup beragama sesama muslim di lingkup masyarakat luas terutama di Negara Indonesia memang begitu terasa beragamnya. Begitu beragamnya golongan intern dalam tubuh Islam itu sendiri sampai-sampai hari semakin hari yang kurasakan bukanlah rasa persatuan namun malah semakin bermunculan aliran-aliran pemahaman lain yang malah semakin memperkeruh umat islam itu sendiri. Memang sih perpecahan dalam tubuh Islam itu sendiri sudah diprediksikan oleh Sang Nabi kurang lebih 1500 Abad yang lampau. Namun bukan berarti kita sebagai pribadi mu’min lantas diam tanpa berpikir dan pasrah saja dengan perpecahan ini. Maksudnya kita sebagai pribadi muslim harus mengarahkan diri kita untuk benar-benar sebagai pribadi mu’min yang kristis tidak hanya taklid buta sebagaimana yang diterangkan Allah dalam 8 sifat-sifat hamba Allah Al-Qur’an Suroh 25 : 63-74 itu.

Saya di sini tidak membicarakan mereka yang bergolong-golongan lantas saling membanggakan diri itu. Sebab itu urusan mereka dengan Allah (QS. 6:159). Dan jelas, Al-Qur’an sudah menyebutkan perpecahan itu disebabkan kedengkian diantara mereka “bagyan bainahum”(QS.2 : 213).

Kawan, Al-Qur’an menganjurkan kita untuk memasuki Islam secara totalitas (QS. 2:208). Sebab, kalau kita hanya setengah-setengah akibatnya kita dalam memahami petunjukpun (Al-Qur’an) juga tidak menyeluruh dan gampang terpengaruh dengan keterangan-keterangan tanpa kita cek dengan Laboratorium kita, yakni Al-Furqon, pembeda mana yang benar dan mana yang salah. Maka, saya mengajak kepada teman-teman sesama umat islam, mari kita bersama-sama belajar Al-Qur’an. Sudahkah kita meluangkan waktu kita untuk memahami Al-Qur'an ditengah-tengah kesibukan yang tiada henti ini? dua hari sekali, seminggu sekali, sebulan sekali, atau setahun sekali namun hanya mendengarkan. Sebab Al-Qu’an adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa (QS. 3:138-139). Kalau kita merasa sebagai orang yang bertakwa tentu kita harus memahami petunjuk itu. Ibaratnya kalau kita akan pergi ke Jakarta namun tidak mempunyai petunjuk jalan dan alamat yang jelas, bagaimana mungkin kita akan sampai kepada tujuan, malah-malah kita nanti tersesat jalan. Bukannya begitu?

Kawan, Al-Qur’an sebagai petunjuk tentu saja tidak hanya cukup untuk dibaca saja sampai khatam tanpa merenungi kandungan-kandungannya. Bukankah kita pernah mendengar bahwa membaca saja satu huruf dalam ayat Al-Qur'an mendapat pahala 10. Lantas bagaimana coba kalau kita tidak hanya membaca namun menganalisa ayat per ayat ?? kemudian kita terapkan dalam kehidupan kita baik pada Allah dan sesama manusia?? Bukankah kita mengharapkan surga. Lalu apa kita tidak malu kepada Allah kalau kita ternyata perbuatan kita jauh dari nilai-nilai Al-Qur'an, yang mana Al-Qur'an adalah petunjuk untuk menggapai kehidupan yang abadi menuju pertamanan muttaqin, lihat QS. 56 : 17 - 40. Bukankah Aisyah mengatakan bahwa Akhlaknya Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an. Kawan, marilah kita buka kesadaran kita. Tidak ada yang bisa membuka kesadaran kita kalau tidak kita sendiri. Memang, “Allah akan memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki”(QS. 28:56). Namun kita harus sadar bahwa kehendak Allah berlaku hukum sebab akibat, silahkan lihat suroh Al-Kahfi [18]:84-85.

Ibarat sekolah, hidup ini adalah ujian (QS. 67 : 2). Dan, materinya adalah Al-Qur'an (QS. 4 : 105). Maka, mari kita bersama-sama meluangkan waktu kita untuk belajar Al-Qur'an. Lalu bagaimana kalau kita tidak tahu tentang Al-Qur'an? "Bertanyalah pada Ahli Dzikir jika kamu tidak mengetahui" (QS. 16 : 43). Siapa Ahli Dzikir? "ialah orang-orang yang beramal sholeh dan orang-orang yang saling menasehati dengan kebenaran"(QS. 103 : 3).

Al-hasil, kalau kita sudah berjalan dalam “shirotol mustaqim”, jalan yang lurus, yakni jalannya “orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan adam, dan dari orang-orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrohim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah kami beri petunjuk dan telah kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka , maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (QS. 19:58) Maka, kita akan bersatu menjadi mu’min yang bersaudara yang terikat dalam tali Allah yang tidak bercerai berai, kalaupun masih bercerai berai berarti ikatan tali kurang kuat. Maka, “berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika dahulu bermusuh-musuhan, maka Allahmempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudaraki dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”(QS. 3:103)